fbpx

Kisah Suri Teladan Abu Qudamah (Bhg 1)

Kisah Suri Teladan Abu Qudamah (Bhg 1)

Kisah Suri Teladan Abu Qudamah (Bhg 1)

Hari itu, di salah satu sudut Masjid Nabawi berkumpullah Abu Qudamah dan para sahabatnya. Di hati para sahabatnya, Abu Qudamah adalah orang yang sangat dikagumi. Beliau seorang mujahid. Berjihad dari satu medan, ke medan-medan jihad lainnya. Seolah seluruh hidup beliaudipersembahkan untuk berjihad. Debu yang betterbangan, kilatan pedang, rejaman anak panah, serta derap kuda adalah hal yang sudah biasa bagi beliau.

Pengalaman, tragedi, kisah, dan momen?? pun telah banyak beliau saksikan di setiap gelanggang perjuangan jihad. “Abu Qudamah, ceritakanlah pada kami kisah paling mengagumkan di hari-hari jihadmu,” tiba-tiba salah seorang sahabatnya meminta. “Ya”, jawab Abu Qudamah.

Beliau pun menyahut. Beberapa tahun laluaku singgah di kota Recca. Aku ingin membeli unta untuk membawa persenjataanku. Semasa aku sedang bersantai di penginapan, keheningan pecah oleh suara ketukan. Ku buka pintu dan ada seorang perempuan. “Engkaukah Abu Qudamah?” tanyanya.

“Engkaukah yang menghimpun umat manusia untuk berjihad?” pertanyaannya yang kedua.

“Sungguh, Allah telah menganugerahiku rambut yang tidak dimiliki wanita lain. Kini aku telah memotongnya. Aku mendendannya agar boleh menjadi tali kekang kuda. Aku pun telah menutupinya dengan debu agar tak terlihat. Aku berharap sekali agar engkau membawanya. Engkau gunakanlah ketika menggempur musuh, saat jiwa kepahlawananmu merabung. Engkau gunakan bersamaan ketika kau menghunus pedang, saat kau melepaskan anak panah, dan pada ketika tombak kau genggam erat. Kalau pun engkau tak sudi, ku mohon berikanlah pada mujahid yang lain. Aku berharap agar sebahagian daripada diriku ini akan ikut di medan perang, menyatu dengan debu-debu fi sabilillah.”

“Aku adalah seorang janda. Suamiku dan karib kerabatku, semuanya telah mati syahid fi sabilillah. Kalau pun syari’at mengizinkan aku berperang, aku akan memenuhi seruannya, “ungkapnya sembari?? menyerahkan dandanan rambutnya.

Aku hanya diam membisu. Mulutku kelu walau untuk mengucapkan “iya”.

“Abu Qudamah, walaupun suamiku terbunuh, namun ia telah mendidik seorang pemuda hebat. Tak ada yang lebih hebat darinya. Ia telah menghafal Al-Qur’an, ia mahir berkuda dan memanah, ia sentiasa solat malam dan berpuasa di siang hari. Kini ia berumur 15 tahun. Ialah generasi pewaris suamiku. Mungkin esok ia akan bergabung dengan pasukanmu. Tolong terimalah dia. Aku persembahkan dia untuk Allah. Ku mohon jangan halangi aku dari pahala, ” kata-kata sendu terus mengalir dari bibirnya.